Manajemen isu dan krisis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
perusahaan atau organisasi tidak dapat terlepas dari masalah ataupun konflik
yang dapat memicu terjadinya krisis. Sayangnya seringkali pihak manajemen baru
menyadari saat konflik telah berubah menjadi krisis yang kronis. Karena itu
sangat penting bagi sebuah organisasi untuk melakukan tindakan pencegahan.
Saat
krisis semakin bergulir, seringkali informasi yang berkembang menjadi simpang
siur dan semakin tak terkendali, bahkan menjadi isu panas yang dapat mempengaruhi
opini publik terhadap organisasi. Karena itu organisasi harus segera melakukan
manajemen isu sehingga krisis yang ada tidak semakin larut dan berkepanjangan.
Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang
ditunjuk BPMIGAS untuk
melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi di Indonesia.
Saham
Lapindo Brantas dimiliki 100% oleh PT Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya yaitu PT
Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Saat
ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas,
Jawa Timur, Indonesia. Selain
Lapindo, participating interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT Medco
E&P Brantas (anak perusahaan dari MedcoEnergi) sebesar 32 persen dan Santos sebesar 18 persen. Dikarenakan memiliki nilai saham
terbesar, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator.
Sebagai
perusahaan besar Lapindo Brantas Inc tak
luput dari isu krisis dan konflik. Lapindo Brantas Inc pada tahun 2006 melakukan kegiatan pengeboran
untuk mencari sumber gas bumi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Namun tanpa disangka kegiatan pengeboran itu mengakibatkan bocornya
katup lumpur panas bumi sehingga menenggelamkan beberapa desa hingga sekarang.
Sampai
saat ini krisis tersebut masih belum teratasi sepenuhnya. Maka dari itu, kami
sebagai penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan mempelajari lebih dalam
mengenai kasus Lapindo Brantas Inc.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kronologi kasus Lapindo Brantas Inc?
2. Apa
saja ciri-ciri isu krisis kasus Lapindo Brantas Inc?
3. Bagaimana
tahapan krisis Lapindo Brantas Inc?
4. Bagaimana
langkah-langkah penanggulangan/pengelolaan krisis Lapindo Brantas Inc?
C.
Tujuan
·
Tujuan
Umum
1. Untuk
mengetahui kronologi kasus Lapindo Brantas Inc.
2. Untuk
mengetahui ciri-ciri isu krisis Lapindo Brantas Inc.
3. Untuk
mengetahui tahapan krisis Lapindo Brantas Inc.
4. Untuk
mengetahui langkah-langkah penanggulangan/pengelolaan krisis Lapindo Brantas
Inc.
·
Tujuan
Khusus
1. Untuk
memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Isu Krisis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kronologi
Kasus
Pada tanggal
26 Mei2006, lumpur panas menyembur
dari rekahan tanah yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari sumur Banjar
Panji-1 milik PT Lapindo Brantas di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Semburan
lumpur yang sampai dengan bulan Oktober 2006 belum
berhasil dihentikan telah menyebabkan tutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 90
hektare sawah serta pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi.
Banjir lumpur panas selain mengganggu jadwal perjalanan kereta api ke Surabaya, juga
menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup
untuk ruas Gempol-Porong pada bulan Agustus 2006 sehingga
menyebabkan kemacetan luar biasa di jalur Gempol dari dan menuju ke Surabaya.
Jalur tol pengganti kini sudah dibangun yaitu Jalan Tol Gempol-Kejapanan dan Arteri Baru Porong untuk
memperbaiki lalu lintas
perekonomian di Jawa Timur, khususnya Surabaya.
1.
Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur
panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk
dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini
dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon
sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya
semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur
sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari
peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil
berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan
Pasar Baru Porong.
2.
Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan
lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa
Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini
terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut
bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai
menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan
Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815
Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili
yang tersebar di sejumlah tempat.
3.
10 Juli 2006, lumpur mulai
menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan
dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.
4.
12 Juli 2006 lumpur panas mulai
menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat
tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu
menahan debit lumpur yang semakin membesar.
5.
Pada bulan Agustus 2006, luapan
lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong,
Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari
8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah
terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang
tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di
Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di
Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan
Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena
dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai
juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP),
Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur
(jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat
diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal
1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170),
sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan
Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit .
6.
Memasuki akhir September 2006, Desa
Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan
Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan
Renokenongo kembali jebol.
7.
22 November 2006, pipa gas milik
Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas
keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina
diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan
api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan
berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya
telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan
beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun
peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga
mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak
mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di
wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan
Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan
tergenang lumpur.
8.
6 Desember 2006, Perumtas I dan II
tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000
jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.
9.
Memasuki Januari 2007, Perumtas I
dan II sudah terendam seluruhnya.
10. Memasuki
April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat
luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang
gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa
Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi
ke Balai Desa Ketapang.
11. 10 Januari
2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat
tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya
jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan.
Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak
keluarga mereka yang terdekat.
12. Dengan
demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau
terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo,
Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi,
Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari,
Kesambi, dan Kalitengah.
B.
Ciri-ciri
Isu Krisis
Rhenald
Kasali dalam bukunya Manajemen Public Relations (2005) menyebutkan bahwa
perusahaan yang sedang berada dalam keadaan krisis umumnya memperlihatkan
gejala-gejala penurunan produktivitas dalam segala hal. Hal tersebut karena
kondisi internal perusahaan yang tidak stabil serta berbagai tekanan eksternal
serta isu-isu negatif yang menghinggapi perusahaan. Berikut ini ciri-ciri
perusahaan yang berada dalam krisis:
Keadaan fisik
|
Tidak terurus, lampu redup, toilet kotor, mobil tua,
seragam petugas lama tidak diganti, pabrik bekerja di bawah titik optimal dan
lain-lain.
|
SDM
|
Malas, datang dan pulang seenaknya, pemimpin jarang
hadir, banyak terlihat tidak bekerja dan kongko-kongko. Tenaga yang
berkualitas sudah resign.
|
Produk andalan
|
Hampir tidak ada. Hanya menyelesaikan yang sudah ada
saja. Banyak retur dan defect.
|
Konflik
|
Hampir setiap hari terdengar, perasaan resah di
mana-mana.
|
Energi
|
Hampir tidak ada
|
Demo karyawan
|
Tinggi, rasa takut terkena PHK
|
Proses hukum
|
Meningkat dan datang dari mana-mana
|
Bagian keuangan
|
Hidup dalam suasana stress. Dikejar tagihan-tagihan
yang tak terbayar dan oleh debt collector.
|
C.
Tahapan-tahapan
Krisis
Meskipun krisis bersifat unpredictable, namun
setidaknya krisis tidak bergerak spontan, ia selalu diawali dengan gejala yang
kadang tidak terlihat atau terdeteksi oleh perusahaan. Karena itu berdasarkan
gejala gejala yang muncul sebelum sesuatu masalah bergerak menjadi krisis, atau
sebelum krisis menjadi semakin parah, organisasi atau perusahaan dapat
melakukan tindakan tindakan antisipatoris.
Tahapan krisis atau lazimnya disebut sebagai anatomi
krisis didefinisikan berbeda-beda oleh sebagian ahli. Namun secara garis besar
berbagai pendapat tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti.
Umumnya tahapan diawali dari gejalan sebelum krisis dapat dikenali dengan
gamblang, selanjutnya krisis sudah dapat dikenali dengan jelas, hingga masuk
tahap krisis yang meluas, dan akhirnya penyelesaian / resolusi krisis.
Sebagai contoh adalah tahapan yang dikemukakan oleh Fink (1986) dan Sturges,
dkk (1991) yang dinyatakan dalam empat fase. Fink mendeskripsikan krisis
seperti layaknya penyakit yang menyerang tubuh manusia, dan membagi tahapan
krisis sesuai dengan terminologi kedokteran yang dipakai untuk melihat stadium
penyakit yang menyerang manusia sebagai berikut:
1. tahap
prodromal
2. tahap akut
3. tahap kronik
4. tahap
resolusi (penyembuhan)
Apabila
krisis yang terjadi tidak terlalu parah, maka waktu yang dibutuhkan oleh
masing-masing fase tidak akan terlalu lama. Sebaliknya, apabila krisis yang
terjadi termasuk krisis yang berat, dan juga tidak tertangani dengan baik, maka
kemungkinan terburuk yang bisa dialami perusahaan adalah colapsnya
perusahaan.
Sebagai
elemen yang sangat berperan dalam menangani krisis yang terjadi pada suatu
perusahaan/organisasi, maka praktisi humas harus berupaya mempercepat
masa turning point krisis dari tahap prodromal ke tahap
resolusi.
a. Tahap
Prodromal
Krisis yang
terjadi pada tahap ini kadang diabaikan karena perusahaan (sepertinya) masih
berjalan secara normal. Tahap ini disebut juga dengan warning stage karena
sesungguhnya meskipun krisis belum meledak, namun krisis sudah muncul, yakni
gejala-gejala yang harus segera diatasi. Tahap ini merupakan tahap yang
menentukan. Apabila perusahaan mampu mengatasi gejala-gejala yang timbul, maka
krisis tidak akan melebar dan memasuki fase-fase berikutnya. Namun
seandainya pada tahap ini krisis juga tidak berhasil ditangani, paling tidak
perusahaan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap akut. Tahap
prodromal bisa muncul dalam tiga bentuk:
·
Jelas sekali, misalnya
karyawan meminta kenaikan upah, ketika para manajer berbeda pendapat,
atau ketika muncul selebaran gelap mengenai sisi negeatif perusahaan di
masyarakat, dll
·
Samar-samar. Gejala yang muncul
tampak samar samar sehingga sulit diinterpretasikan dan diprediksi luasnya
suatu kejadian. Misalnya adanya peraturan pemerintah yang baru, munculnya
pesaing baru, dsb.
·
Sama sekali tidak kelihatan.
Gejala-gejala krisis tidak terlihat sama sekali. Perusahaan tidak dapat membaca
gejala ini karena kelihatannya tidak ada masalah dan kegiatan perusahaan
berjalan dengan baik. Pada bentuk ini, ada kalanya perusahaan mempunyai asumsi
bahwa “sulit untuk memuaskan semua pihak”, maka merupakan hal yang wajar
apabila kemudian ada pihak tertentu yang dirugikan. Namun yang membahayakan
dari asumsi tersebut adalah perusahaan tidak memikirkan kerugian tersebut bisa
merugikan perusahaan secara perlahan namun pasti.
b. Tahap akut.
Tahap ini terjadi ketika orang
mengatakan : “telah terjadi krisis”. Banyak perusahaan beranggapan pada tahap
inilah krisis mulai terjadi karena tidak berhasil mendeteksi gejala krisis yang
terjadi pada tahap prodromal. Pada tahap ini gejala yang semula samar atau
bahkan tidak terlihat sama sekali mulai tampak jelas. Krisis akut sering
disebut sebagai the point of no return, artinya apabila gejala yang
muncul pada tahap peringatan (tahap prodromal) tidak terdeteksi sehingga tidak
tertangani, maka krisis memasuki tahap akut yang tidak akan bisa kembali lagi.
Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas.
Namun demikian, seberapa jauh krisis menimbulkan kerugian sangat tergantung
dari para aktor yang mengendalikan krisis. Salah satu kesulitan mengatasi
krisis dalam tahap akut adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang
dari berbagai pihak yang datang menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan oleh
jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh
kompleksnya permasalahan. Tahap akut bisa dikatakan sebagai tahap antara,
dimana waktunya paling pendek diantara tahap tahap lainnya. Bila tahap ini tak
terselesaikan maka akan meningkat ke tahap kronis.
c.
Tahap Kronis.
Apabila krisis diibaratkan badai,
pada tahap ini badai telah berlalu, yang tersisa hanya reruntuhan bangunan
akibat badai. Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah
pembersihan. Tahap ini disebut juga sebagai the clean up phase atau the
post mortem. Seringkali tahap ini juga diidentifikasi sebagai tahap recoveryatau selfanalysis. Tahap
ini ditandai dengan perubahan struktural, seperti penggantian manajemen,
penggantian pemilik, atau bahkan mungkin juga perusahaan dilikuidasi.
Perusahaan harus segera mengambil keputusan apakah akan mau hidup terus atau
tidak. Kalau ingin hidup terus tentu perusahaan harus sehat dan mempunyai
reputasi yang baik. Tahap ini jika diatasi oleh seorang manajer krisis yang
handal bisa saja keadaan membaik, selanjutnya tahap ke arah penyembuhan atau
resolusi mulai terlihat.
d.
tahap resolusi (penyembuhan)
merupakan tahap pemulihan kembali
kondisi perusahaan. Harus dicatat bahwa dari berbagai riset juga ditemukan
bahwa dalam tahap ini krisis tidak akan berhenti begitu saja. Karena
tahap-tahap krisis ini merupakan siklus yang berputar, maka bila telah memasuki
tahap resolusi perusahaan tetap harus waspada bila proses penyembuhan tidak
benar-benar tuntas, krisis akan kembali ke tahap prodromal.
D.
Langkah-langkah
Penanggulangan / Pengelolaan Krisis
Upaya penanganan krisis
Karena
krisis bukan semata tanggung jawab dari Public Relations, melainkan keseluruhan
manajemen, maka keseluruhan manajemen harus bersinergi untuk mencegah,
mengelola dan menyelesaikan krisis. Manajemen dapat menanggulangi dengan
melakukan langkah-langkah berikut ini (Nova, 2009):
1. Peramalan
krisis (forcasting)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
manajemen krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor
ketidakpastian seminimal mungkin. Setiap perusahaan menghadapi masa depan yang
selalu berubah dan arah perubahannya tidak bisa diduga (uncertainty
condition). Untuk itu peramalan terhadap krisis (forcasting) perlu
dilakukan pada situasi pra-krisis. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi dan menganalisa peluang (opportunity) dan ancaman
(threat) yang terjadi di dunia bisnis. Untuk memudahkannya manajemen
dapat melakukan peramalan (forcasting) dengan memetakan krisis pada peta
barometer krisis.
2. Pencegahan
krisis (prevention)
Langkah-langkah
pencegahan sebaiknya diterapkan pada situasi pra-krisis. Untuk mencegah
kemungkinan terjadinya krisis. Namun, jika krisis tidak dapat dicegah,
manajemen harus mengupayakan agar krisis tidak jika kelak krisis betul-betul
terjadi. Untuk itu, begitu terlihat tanda-tanda krisis, segera arahkan ke tahap
penyelesaian.
3. Intervensi
krisis (intervantion)
Langkah intervensi dalam situasi
krisis bertujuan untuk mengakhiri krisis. Pengendalian terhadap kerusakan (damage
control) dilakukan pada tahap akut. Langkah-langkah pengendalian terhadap
kerusakan diawali dengani identifikasi, isolasi/pengucilan, membatasi/limitation,
menekan/reduction, dandan diakhiri dangan pemulihan/recovery
Saat krisis
telah menjangkiti suatu organisasi, tidak ada jalan lain kecuali segera
melakukan langkah langkah pengendalian danpengelolaan krisis. Adapun
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengelola krisis adalah sebagai
berikut:
1. Identifikasi
krisis
Praktisi PR
melakukan identifikasi krisis dengan penelitian. Bila krisis terjadi dengan
cepat, maka penelitian harus dilakukan secara informal dan kilat. Untuk itu
harus diusahakan kesimpulan atas identifikasi krisis yang terjadi ditarik pada
hari yang sama saat data dikumpulkan. Keahlian khusus dibutuhkan praktisi humas
untuk dapat menjalankan identifikasi krisis. Misalnya keahlian dalam hal
jurnalistik yang umumnya dimiliki oleh para jurnalis. Untuk dapat menjalankan
hal ini, seorang public relations bekerja layaknya dokter yang melakukan
diagnosis, meneliti gejala dan set back untuk memperoleh gambaran yang utuh.
Untuk mengidentifikasi krisis perusahaan dapat melakukan konsultasi dengan
pihak pihak terkait yang ada di luar perusahaan seperti konsultan, akademisi,
peneliti, dll
2. Analisis
krisis
Analisis
krisis dilakukan sebelum seorang public relations mengambil berbagai strategi
dan tindakan komunikasi. Setelah data berhasil diperoleh, tugas praktisi public
relations selanjutnya adalah menganalisis krisis yang dilakukan baik secara
parsial maupun integral. Oleh karena itu dalam tahap ini dibutuhkan kemampuan
membaca permasalahan yang baik. Analisis yang dilakukan juga mempunyai cakupan
luas, meliputi analisis passial hingga analisis integral yang saling kait
mengkait.
3. Isolasi
krisis
Krisis bisa
identikkan sebagai penyakit, dan bahkan bisa juga bersifat menular. Oleh karena
itu agar penyakit tidak menular dan menyebar luas, perlu dilakukan isolasi
krisis, atau dikarantina sebelum akhirnya dilakukan tindakan pengobatan.
4. Pilihan
strategi
Sebelum
mengambil langkah pengendalian krisis, perusahaan perlu melakukan penetapan
strategi generik yang akan diambil. Ada tiga strategi generik yang dapat
dilakukan untuk menangani krisis, yaitu:
·
Defensive Strategy(Strategi
Defensif) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
o
Mengulur waktu
o
Tidak melakukan apa-apa (not in
action atau low profile)
o
Membentengi diri dengan kuat (stone
walling)
·
Adaptive Strategy(Strategi
Adaptif) dengan langkah-langkah yang mencakup hal-hal yang lebih luas sebagai
berikut:
o
Mengubah kebijakan
o
Modifikasi operasional
o
Kompromi
o
Meluruskan citra
·
Dynamic Strategy(Strategi
Dinamis), strategi ini sudah bersifat agak makro dan dapat mengakibatkan
berubahnya karakter perusahaan. Pilihannya adalah:
·
Merger dan akuisisi
·
Investasi baru
·
Menjual saham
·
Meluncurkan produk baru/menarik
peredaran produk lama
·
Menggandeng kekuasaan
·
Melempar isu baru untuk mengalihkan
perhatian
4. Program
pengedalian
Program pengendalian merupakan
langkah penerapan yang dilakukan menuju strategi generik yang dirumuskan.
Umumnya strategi generik dapat dirumuskan jauh hari sebelum krisis muncul,
yakni sebagai panduan (guidence) agar para eksekutif dapat mengambil
langkah yang pasti. Berbeda dengan strategi generik, program pngedalian
biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul.
Implementasi
pengendalian diterapkan pada:
·
Perusahaan (beserta cabang)
·
Industri (gabungan usaha sejenis)
·
Komunitas
·
Divisi-divisi perusahaan
Pertama –tama dalam kasus ini PT. Lapindo Berantas
memberikan inforasi awal mengenai apa yang terjadi pada rencana pengeboran gas
bumi di media. Hal ini merupakan salah satu cara PT. Lapindo Berantas untuk
meredakan isu – isu yang simpang siur.
Kemudian dalam prosesnya PT. Lapindo Berantas bekerja
sama dengan beberapa ilmuan untuk mengetahui mengapa rencana pengeboran gas
alam tersebut berubah menjadi bencana alam yang cukup fatal.
Dalam Kasus ini PT. Lapindo Berantas melakukan
strategi penanganan krisis Adaptive Strategy. PT. Lapindo Berantas
dalam menghadapi krisisnya bekerja sama dengan pemerintahan Siduardjo untuk
menanggulangi semburan lumpur panas yang terus – menerus menyembur dari dalam
bumi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab PT. Lapindo Berantas.
PT. Lapindo Berantas juga pada kasus ini telah
memberikan bantuan baik pangan, sandang , papan maupun bantuan kesehatan serta
tunjungan kepada para korban lumpur panas Lapindo. Ini merupakan tahap resolusi
(penyembuhan) dimana PT. Lapindo Berantas malukan program CSR sekaligus salah
satu upaya mengembalikan citra perusahaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Lapindo
Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang
ditunjuk BPMIGAS untuk
melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi di Indonesia.
·
Ciri - ciri krisis :
o Keadaan
fisik
o SDM
o PRoduk
Andalan
o Demo
karyawan
o Proses
Hkum
o Bagian
Keuangan
·
Tahapan krisis
1) Tahap prodromal
2) Tahap prodromal
3) Tahap akut
4) Tahap kronik
5) Tahap resolusi
(penyembuhan)
·
Upaya penanganan
krisis:
1) peramalan
krisis
2) Pencegahan
krisis
3) Intervensi
krisis
·
pengelolaan krisis
1) Identifikasi krisis
2) Analisis krisis
3) Isolasi krisis
4) Pilihan strategi
·
Ada tiga strategi generik yang dapat
dilakukan untuk menangani krisis, yaitu:
·
Defensive Strategy(Strategi
Defensif) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
o
Mengulur waktu
o
Tidak melakukan apa-apa (not in
action atau low profile)
o
Membentengi diri dengan kuat (stone
walling)
·
Adaptive Strategy(Strategi
Adaptif) dengan langkah-langkah yang mencakup hal-hal yang lebih luas sebagai
berikut:
o
Mengubah kebijakan
o
Modifikasi operasional
o
Kompromi
o
Meluruskan citra
·
Dynamic Strategy(Strategi
Dinamis), strategi ini sudah bersifat agak makro dan dapat mengakibatkan
berubahnya karakter perusahaan. Pilihannya adalah:
·
Merger dan akuisisi
·
Investasi baru
·
Menjual saham
·
Meluncurkan produk baru/menarik
peredaran produk lama
·
Menggandeng kekuasaan
·
Melempar isu baru untuk mengalihkan
perhatian
5. Program
pengedalian
Program pengendalian merupakan langkah penerapan yang
dilakukan menuju strategi generik yang dirumuskan. Umumnya strategi generik
dapat dirumuskan jauh hari sebelum krisis muncul, yakni sebagai panduan (guidence)
agar para eksekutif dapat mengambil langkah yang pasti. Berbeda dengan strategi
generik, program pngedalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul.
Implementasi
pengendalian diterapkan pada:
F.
Perusahaan (beserta cabang)
G.
Industri (gabungan usaha sejenis)
H.
Komunitas
I.
Divisi-divisi perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar