TRIAS POLITICA
Trias politica sebagai 3 pilar dalam demokrasi, seakan masih
kurang,ketiga pilar ituperlu ditambah 1 pilar lagi, yaitu “pers”. Eksistensinya
memang bukan di dalam struktur pemerintahan, tetapi sumbangsih dan pengaruhnya
dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sangat signifikan. Meski pers
juga sering dipolitisir oleh pengusa dan pemilik modal.
Menilik perjalan kemerdekaan yang terjadi di Indonesia,
ternyata tak lepas dari peranan sebuah media yang dikenal dengan pers.
Pasalnya, pada waktu itu (pra kemerdekaan) pers nasional dimanfaatkan sebagai
pemicu untuk mengobarkan semangat para pejuang Indonesia untuk melawan
penjajahan Belanda.
Sumbangsih pers nasional kala itu pada pertengahan Mei 1908
ibarat sebuah mantra, yang mampu menyadarkan dan membangkitkan semangat rakyat
untuk sadar dari tidur panjangnya selama mengalami penjajahan. Di antara pers
nasional itu adalah “Pikiran Rakyat” di Bandung, “Daulat Rakyat” dan
“Kedaulatan Rakyat”.
Banyak rintangan yang dihadapi oleh pers nasional pada masa
penjajahan, terutama dari pihak Hindia Belanda dengan ancaman Persbredel
Ordonante (larangan terbit, red). Perjuangan pers untuk mendengarkan cita-cita
bangsa Indonesia di zaman penjajahan belanda, menyebabkan terjalinnya hubungan
moral antara pers dan rakyat semakin mengkristal, sehingga kesadaran untuk
merdeka terus bisa berkobar. alhasil Indonesia pun dapat meraih kemerdekaan.
Selain itu, dalam kurun waktu setengah abad lebih di negeri
ini. Perjalanan pers semakin mampu memberikan kontribusinya. Setelah tumbangnya
rezim Orde Baru (Orba), pers seakan mampu menghirup udara bebas. Ruh kebesan
pers pasca tumbangnya Orba, menjadikan pers mampu menunjukkan kedaulatannya,
yakni pers berperan sebagai control sosial.
Tata laksana pemerintahan yang awalnya hanya didengar sayup
sayup oleh rakyat, kini berbalik 180 derajat. Rakyat dengan memasang mata dan
telinga bisa melihat bagaimana Negara ini sedang digarap, rakyat bisa membaca
dan menonton bagaimana kebijakan publik dibuat oleh 3 pilar. Yudikatif,
Legislatif dan Eksekutif bisa “dihadirkan” ke tengah-tengah rakyat oleh pers.
Dalam perannya itulah pers hadir di tengah-ditengah
kehidupan berbangsa bernegara. Kekuatan goresan pena para jurnalis mulai
mewarnai jagad demokrasi di Indonesia. Produk pers baik media cetak maupun
elektronik terus mengawal jalannya kehidupan Negara. Berbagai informasi mereka
suguhkan ke publik, mulai dari yang mendidik, menghibur, hingga tidak
menghibur, pers mulai penuh warna.
Masih lekat dibenak kita, pada masa-masa kampanye pilpres
2014. Sepak terjang pers begitu hiruk-pikuk. Mulai pemberitaan objektif hingga
berita-berita “murahan” pun berseliweran. Berita-berita itu tak segan-segan
mendiskreditkan capres lain, menginjak-injak Kode Etik Jurnalistik, bahkan
salah satu media dadakan itu diterbitkan dan dicetak ribuan eksemplar,
tragisnya identitas penerbit dari media
tersebut abal-abal.
Jika pers memang hadir untuk menyanggah demokrasi sebagai
pilar ke 4, mengapa sepak terjangnya justru acapkali menciderai demokrasi itu
sendiri? Pertanyaan mendasar ini tak berlebihan kiranya ketika disampaikan
mengingat peran dan fungsi pers dalam kehidupan negara demokrasi bisa
bersimbiosis mutualisme, terlebih di negara yang menerapkan teori
responsibility pers, seperti di negara Indonesia.
Seharusnya pers mampu berperan dengan mengedepankan pada
kebenaran, sebab itulah prinsip utamanya dengan berpijak pada Kode Etik
Jurnalistik, namun kondisi nyata berbicara lain. Tak jarang pers tertentu dan
cukup terkenal justru tak berdaya berhadapan dengan kepentingan dan modal. Hal
ini pulalah yang mengakibatkan pers terbelah dua.
Memang tak berlebihan bila stigma pers sebagai pilar ke 4
demokrasi setelah eksekutif,yudikatif dan legislatif diwacanakan. hal itu
sejalan dengan jurnalis (online) KOMPAS.COM, Yatimul Ainun, S.Sos.I.
Menurutnya, dilihat dari tujuan dan fungsinya sebagai pilar ke-4 demokrasi hal
itu pantas saja, keterlibatan pers dalam kemerdekaan juga sangat signifikan.
Penulis buku berjudul ” bakiak Politik Sorban Negarawan”
tersebut juga memberikan saran. ”Saya selaku orang yang aktif di organisasi
profesi, terus melakukan kajian, hanya pada 3 penekanan pada teman-teman
jurnalis dalam bekerja, yakni bersikap profesional, independen, dan beretika.
Agar pers tak seperti “macan ompong”,”tuturnya.
Berbicara etika jurnalis dalam memburu berita di dalam UU
pers sudah diatur dengan tegas. Setiap insan pers wajib mematuhi Kode Etik
Jurnalistik (KEJ). Akan menjadi suatu permasalahan yang krusial bila tak
mematuhi KEJ tersebut. Bisa saja demokratisasi tidak akan terwujud. Beliau
berpendapat bahwa Insan pers yang tidak mematuhi Kode Etik Jurnalistik akan
ditindaklanjuti oleh dewan pers. Semua itu sudah diatur dalam UU Pers No. 9
tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik itu sendiri.
Dalam catatan statistik, kebebasan pers di Indonesia
mengalami peningkatan. Menurut Reporters Without Borders, sebuah lembaga yang
menjadi wadah kebebasan pers dunia asal Prancis mengukur, bahwa kebebasan pers
Indonesia berada di urutan 105 dari 167 negara pada tahun 2005. Sementara pada
tahun 2009, Indonesia naik dan menduduki urutan angka 101 dari 175 negara.Ini
merupakan peringkat yang sangat fantastis, dan membawa Indonesia ke nomor dua
tertinggi di kawasan Asia Tenggara, setelah Timor Leste.
Akan tetapi, kebebasan pers di Indonesia dewasa ini acap
kali dinodai oleh kepentingan pemilik modal dan politik. Penguasa partai
politik (parpol) yang sudah memegang suatu lembaga pers secara otomatis akan
sedikit menggeser fungsi pers, yang awalnya sebagai media informasi, edukasi,
dan entertain, sekaligus sociall control, namun kini beralih menjadi media
kampanye yang dimanfaatkan oleh parpol. Sehingga tingginya kebebasan pers di
Indonesia tidak berbanding lurus dengan eksistensi dan fungsi awalnya.
Menurut DR. Bambang Dwi Prasetyo, pakar ilmu komunikasi
Universitas Brawijaya (UB), hal itu (intervensi politik) yang menyebabkan pers
kehilangan arah dan rapuh. Pers memang sulit keluar dari kepentingan pemilik
modal dan politik apalagi kepentingan ekonomi malah sangat relevan bila pers
juga memiliki kepentingan ekonomi. karena hidup dan berkembangnya pers
bersumber dari ekonominya.
namun, bisa juga pers bebas dari kepentingan itu walaupun
sulit.” sebetulnya bisa di hindari cuman
tergantung dari stick holder dari pers itu, tergantung pemilik modal
dari pers tersebut, juga tergantung dari wartawannya punya idealisme untuk
berpihak atau tidak,”ujar dosen UB tersebut ketika diwawancarai di kantornya.
Dalam dunia edukasi, pers juga berfungsi untuk mendidik
masyarakat agar menjadi manusia yang berkualitas. Faktanya, Entah berapa banyak
(untuk tidak mengatakan tak terhitung) media pers yang kurang mendidik. Menurut
Ainun, 50 % media online di Indonesia yang dinilainya mendidik. Intinya dilihat
dari media pers pada umumnya, pers dinilai kurang berhasil mendidik masyarakat
Indonesia. Fungsi mendidiknya kurang berhasil. Namun fungsi menghiburnya sudah
berhasil.
DR. Bambang juga mencontohkan, paling tampak dari
pengiklanan yang ada unsur kampanye di media masa pada tahun politik kemarin.
sekitar 80 % di media masa mengandung unsur politik atau unsur kampanye yang
ditayangkan diluar jadwal. “Kalau dilihat dari kemarin sekitar 80 % ikut
bermaen (politik),”ungkap Dosen lulusan (doctor) S3 ilmu komunikasi Universitas
Padjajaran (UNPAD) Bandung.
Dari kompleksitas problem pers yang kian menjadi penyakit
akut.
Dapat ditarik benang merah bahwa Pers yang ideal adalah pers
yang melakukan pengawasan secara intens, profesional, independen, beretika,
bertanggung jawab, mematuhi UU pers dan KEJ. Untuk mengobati penyakit pers tersebut
kita harus mengidealkan pers sehingga pers dapat membentuk negara yang
demokratis dengan apapun caranya agar idealime pers tidak mati!.
Best Week 14 Point Spread Picks | December 12, 2021 메리트 카지노 고객센터 메리트 카지노 고객센터 온라인카지노 온라인카지노 クイーンカジノ クイーンカジノ 222Even Bet Gaming Is A Brand-New Way To Play Online Casinos
BalasHapus